Tak seperti
hari sebelum-sebelumnya, hari ini, Rabu, 15 Oktober 2014 ada yang berbeda
dengan kelas Filsafat Pendidikan Matematika. Kelas ini dimulai pukul 07.00,
namun seperti kebiasaan mahasiswa pada umumnya, sukanya berangkat mepet. Sayapun
seperti itu. Teguran karena kurang menghargai waktu kudapatkan pagi ini.
Kulihat jam
dinding menunjukkan pukul 06.50, masih 10 menit. Bergegas saya berangkat ke
kampus, menuju D07.310, Kelas Filsafat Pendidikan Matematika. Jarak kos yang
dekat denga kampus ternyata tak cukup membuatku sampai tepat waktu. Pada
akhirnya saya sampai pukul 07.05 dan ku lihat Prof.Dr. Marsigit, M.A, dosenku,
telah duduk di dekat pintu. Saya panik, karena setiap awal perkuliahan kelas
ini selalu dimulai dengan kuis. Kukira mereka telah memulai. Saya pun
memutuskan mengetuk dan langsung masuk kelas setelah menundukkan kepala sebagai
rasa penyesalan. Tak disangka Beliau berkata,”Eh, ngga sopan, asal
nyelonong.” Kalau bisa diungkapkan dengan kata – kata itu,”Sakitnya disini”
sambil nunjuk ke hati. Sudah-sudah, sebagai mahasiswa yang baik itu harus
berprasangka positif dengan dosen. Namanya yang dicari itu keberkahan ilmu maka
harus cari ridho dosen dulu. Ini juga sebagai pelajaran. Dan, ternyata beliau
menyuruh saya tanda tangan terlebih dahulu sebelum duduk. Kemudian satu persatu
anak juga masih ada yang datang terlambat, sampai Beliau menutup akses masuk
dengan duduk membelakangi pintu masuk, Dan ternyata masih ada empat mahasiswa
yang datang, akhirnya diperbolehkan masuk namun di presensi tetap ditulis tidak
hadir.
Selanjutnya,
kuis yang ditunggu pun tiba. Kami diberikan lima puluh soal. Namun, mayoritas
mendapatkan nilai 0. Saya sendiri hanya bisa menjawab satu. Mungkin ini menjadi
pukulan tersendiri bagi Pak Marsigit dengan bandelnya kami sebagai mahasiswa,
sudah disarankan untuk membaca tulisan di blog beliau namun masih saja malas.
Beliau kembali menegaskan bahwa takkan menarik jika beliau mengajarkan filsafat
dengan metode ceramah, maka baca, baca, dan baca blog beliau. Kalau disuruh
baca saja malas bagaimana kita bisa paham? Semoga ini menjadi teguran bagi
kami.
Selanjutnya Pak
Marsigit meminta kami untuk menuliskan minimal satu soal, boleh mengenai
postingan di blog maupun pertanyaan kusi tadi.
Pertanyaan
pertama,”Mengapa ada itu ada?”
Pertanyaan ini
langsung disanggah beliau, karena jelas ada itu ada. Sesuatu yang ada itu bisa
dilihat, didengar, dan diberikan tindakan lainnya. Seharusnya pertanyaannya
adalah,”Mengapa tidak ada itu ada?”. Kemudian Pak Marsigit bercerita bahwa
beberapa hari yang lalu beliau di undang untuk ke rumah adik beliau karena
disana ada tukang pijit. Tertarik dengan tawaran itu Pak Marsigit bersedia
datang setelah mengajar, namun karena kecapaian beliau ingin pulang dahulu dan
mengajak istri. Pak Marsigit pun menyanggupi setelah maghrib. Ternyata ketika
mengajak istrinya, di rumah tetangga akan diadakan yasinan. Akhirnya istri
beliau izin untuk tidak mengikuti karena akan menemani Bapak Marsigit ke rumah
adiknya. Dan ternyata karena Pak Marsigit kecapaian dan berpikir kalau ke rumah
adik hanya sekedar pijit, maka pulang ke rumah akan capek lagi. Sehingga beliau
memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke rumah adik. Di sisi lain, sang
istri yang telah izin dari acara yasinan juga banyak tugas di rumah. Pada akhirnya,
Pak Marsigit dan sang istri TIDAK ADA di rumah adik beliau, namun mereka ADA di
rumah dengan aktivitasnya masing-masing. Itulah yang disebut TIDAK ADA TAPI
ADA. Contoh lain, mengikuti kuliah. Ada orang yang mengikuti kuliah, FISIKNYA
ADA tapi JIWANYA TIDAK ADA, pikirannya kemana-mana. Contoh lainnya, di dalam
mimpi kita makan mie ayam, setelah bangun ternyata itu hanya mimpi. TIDAK ADA
tapi ADA.
Pertanyaan
kedua,”Apakah kita bisa memahami keinginan orang lain?”
“Pikiran kita
saja, kadang kita tak bisa pahami. Tapi memang ketika dengan orang lain yang
kita lakukan adalah bagaimana mengerti keinginan mereka. Tapi jika dengan diri
sendiri maka bagaimana kita dapat menjelaskan keinginan kita kepada orang
lain?”
Pertanyaan
ketiga,”Bagaimana mempelajari filsafat?”
“Semua sudah
ada di blog. Anda tinggal membaca saja malas. Pertanyaan ini tidak gentle,
karena belum mebaca.”
Pertanyaan
keempat,”Bagaimana inovasi dalam pembelajaran?”
“Apa yang tepat
dalam satu waktu tepat, belum tentu tepat pada waktu lainnya. Kelemahan saya
adalah saya bersikap determinenis kepada saudara, maka imbangi dengan blog.
Kalau saya menguasai 80, kalian 0. Saya 100, kalian 0. Saya 800, kalian 0. Ya
tidak akan nyambung kalau ngobrol begini.”
Kemudian beliau
menjelaskan bahwa kedatangan kita kesini adalah untuk mengumpulkan antitesis
kemudian menyusun sintesis. Dalam belajar filsafat itu tergantung diri sendiri.
Pertanyaan
kelima,”Apa yang dimaksud idealis di dalam diri dan realistis di luar diri?”
Pak Marsigit
menunjukkan beliau memiliki polpen kepada kami. Polpen itu berwarna hitam.
Kemudian beliau memasukkan polpen itu ke dalam buku dan bertanya,”Apa warna
polpen Pak Marsigit?” Dan bertanya kepada beberapa mahasiswa. Mereka menjawab
hitam. Kemudian polpen dipindahkan ke dalam saku dan bertanya lagi kepada
beberapa mahasiswa. Mereka masih sama, menjawab polpen berwarna hitam Pak
Marsigit menjelaskan bahwa walaupun pulpen tersebut sudah tidak ada tapi ia
tetap ada di pikiran kami, sehingga kami bisa mengetahu warnanya. Nah, apa yang
ada di dalam diri itu disebut Idealis (dibawa oleh Plato) dan apa yang ada di
luar diri atau lingkungan adalag realistis (dibawa aristoteles).
Pertanyaan
keenam,”Apa hakikat menjadi guru matematika yang baik?”
“Saya bertanya
dahulu,’Karakter itu bergerak atau tidak?’ Jika ia tak bergerak maka jika
sekarang baik, besok baik, ia stabil. Tapi jika misal hari ini engkau memakai
baju kuning dan dibilang bagus, maka besok saat engkau memakai hijau sudah tak
bagus lagi. Sesungguhnya menjadi guru yang baik ialah guru yang mempromosikan
kebaikan. Dia menjadi pengada dan mengada. Guru yang baik itu legal formal,
ikhtiar, ada hasil. Dia akan selalu mengadakan penelitian untuk kebaikannya.”
“Dalam filsafat
,
karena 2 yang pertama beda dengan 2 yang kedua. 2 yang disebutkan di awal
berbeda dengan 2 yang disebutkan kemudian. Di dunia aku tak bisa berkata bahwa
diriku = diriku, karena diriku yang kusebutkan di awal berbeda dengan diriku
yang kusebutkan kemudian. Maka tiadalah orang = dirinya. Sama halnya dengan
matematika murni, itu hanya ada di dalam alam pikiran. Ketika turun di bumi
sudah menjadi salah, kerena ia sensitif terhadap ruang dan waktu.”
“Dalam
matematika kita mengenal kontradiksi. Di filsafat juga demikian, namun berbeda.
Misalnya, jilbab tidak akan menjadi kuning. Kuning hanya menjadi sifat, karena
jilbab punya sifat lain. Hidup itu lomba diksi secara filsafat. Hanya Tuhan
yang mampu sama dengan namaNya.”
“Kita makhluk
Tuhan yang diciptakan secara sempurna dalam ketidaksempurnaan. Tapi itulah
kesempurnaan kita. Kita bisa melihat depan wajah kita tapi kita tak bisa
melihat belakang wajah kita. Saat kita berada di rumah, kita hanya bisa melihat
suasana di rumah. Jika kita tak terbatas dan bisa melihat kemana-mana, maka
akan kacau. Kita berbicara pun, itu adalah keterbatasan. Ada banyak kata yang
punya hak yang sama untuk keluar, tapi kita berbicara itu secara linier, Kalau
kita mengeluarkan semua kata secara bersamaan maka takkan ada yang paham
tentang apa yang kita bicarakan.”
“Ayam itu
dewanya cacing, ayam bisa menggali tanah, cacing juga bisa. Bedanya ayam bisa
terbang tapi cacing tidak. Dewa adalah kesadaran akan dimensi, Aku adalah dewa
dari diriku yang nanti dan jaksa dari diriku yang tadi.”
Oleh Ika Dewi Fitria Maharani (11301241009)
Ditulis berdasarkan inspirasi kuliah Filsafat
Matematika bersana Prof. Dr. Marsigit, M.A di D07.310 pada hari Rabu, 15
Oktober 2014.